Ungkap Kronologi Lahan SDN Pombuntang di Luwu Utara, Subiati Sebut 47 Tahun Hidup Susah

99
ADVERTISEMENT

LUWU UTARA–Subiati (61) wanita sebatang kara yang telah 47 tahun menunggu kepastian atas lahannya yang digunakan pemerintah daerah untuk bangunan SDN Pombuntang di desa Sabbang, Kecamatan Sabbang, menceritakan kronologi dan histori lokasi tersebut.

Ditemui awak media, Subiati memaparkan
Bahwa kakeknya (Bamba Uwa’ Galung) awalnya memiliki hamparan tanah seluas kurang lebih seperdua hektar di dusun Maongan, desa Sabbang, kecamatan Sabbang, kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Lokasinya kini berhadapan dengan Polsek Sabbang.

ADVERTISEMENT

Lahan tersebut telah mereka kuasai, garap, dan dijadikan tempat tinggal sudah turun-temurun selama kurang lebih 100 tahun.

“Kakek saya bilang jika sudah mendiami lahan itu sejak belanda pertama kali masuk di Tana Luwu, apalagi kakek kelahiran sekitar tahun 1880,” ujar Subiati, Kamis (24/06/2021).

ADVERTISEMENT

Ditempat tersebut kakeknya menetap bersama istrinya yang bernama Rattasa Da Marawiyah binti To Palluru serta ibunya yang anak semata wayang bernama Nadira binti Bamba Uwa’Galung.

“Kami berempat ditempat itu. Setelah ibu saya (Nadira binti Bamba Uwa’Galung) meninggal pada tahun 1971, kami hanya bertiga dengan kakek nenek karena saya anak tunggal,” lanjut Subiati.

Diawal tahun 1974, lanjut Subiati, Kepala Desa Sabbang Opu Andi Kampasu mendatangi kakek saya dengan maksud meminjam sebagian dari lahan tersebut (± 2019 meter persegi) untuk didirikan bangunan Sekolah Dasar Inpres Pombuntang.

“Saat itu Opu desa bilang nantinya lokasi sekolah akan dipindahkan jika telah mendapatkan lahan yang lebih strategis. Kakek saya tidak memberikannya tapi apa daya, kakek sudah tua jadi mau tidak mau terpaksa menurut,” kata Subiati dengan terbata-bata dan mata sembab terlihat sedih mengenang masa itu.

Ia menjelaskan, selain rumah kakeknya, ada 4 bangunan rumah warga lainnya yang menumpang mendirikan bangunan diatas tanah kakek saya saat itu yang kini tepat berdiri SDN Pombuntang.

“Masing-masing adalah Tanda Uwa’ na Mis, Pella Ambe Sombung, Mariama, Indo’ Tona dan rumah kakek saya sendiri,” lanjutnya.

Dengan terpaksa, bangunan rumah panggung tersebut diangkat dan digeser pinggir kanan, kebelakang dan ada yang keseberang jalan. Karena rumah kakek Subiati karena sudah reyot, maka terpaksa dibongkar saja.

“Akhirnya sejak saat itu kami menumpang dirumah Tanda Uwa’na Mis yang diangkat kesisi kanan sekolah. Kebetulan istrinya masih saudara seibu dengan almarhum ibu saya,” terangnya.

Lanjut Subiati berkisah, sebelum kakeknya meninggal dunia ditahun 1975 ia menitipkan pesan wasiat dihadapan semua penghuni rumah yang mereka tumpangi (Rumah Tanda Uwa’ na Mis).

Pesannya adalah bahwa tidak ada nilai sepeser pun yang dia terima dari tanah tempat dibangun sekolah itu serta tidak pernah dihibahkan. Yang artinya, lahan tersebut tidak pernah dijual ataupun diberikan kepada siapapun juga.

Lalu pada tahun 1983, istri Bamba’ Uwa’Galung (Rattasa Da Marawiyah binti To Palluru) meninggal dunia dengan umur sekitar 95 tahun.

“Saat itu umur saya sudah 23 tahun. Sebelum meninggal nenek berpesan kepada saya sebagai pewaris tunggal agar jangan meninggalkan lokasi tersebut sebelum ada kepastian,” kenang Subiati.

Diawal tahun 90-an, setelah tante saya (istri Tanda Uwa’na Mis) meninggal dunia, saya memilih bergeser menetap disalah satu rumah dinas guru dilokasi SDN Pombuntang hingga kini.

Subiati mengisahkan karena kebutuhan ekonomi mendesak, ia menjual lahan sebelah kanan sekolah pada sekitar tahun 1995. Dan sedikit sisa lahan disebelah kiri sekolah juga dijual sekitar tahun 1997.

“Yang tersisa adalah lahan dibagian belakang sekolah. Saya coba berkebun kakao tapi tenaga sudah tidak mampu lagi makanya hasilnya nyaris tidak ada,” lanjutnya.

“Beberapa waktu lalu, saat dipertemukan di DPRD dengan pemerintah, mereka tetap mengklaim kepemilikan dengan Sertifikat Hak Pakai yang terbit 2005,” ujarnya.

Subiati tegaskan bahwa tidak pernah menjual atau hibahkan lokasi tanah SD itu, kenapa bisa terbit sertifikatnya tanpa pemberitahuan kepadanya sebagai pemilik.

“Itupun terbit 2005, lalu bagaimana pertanggungjawabnya sejak 1974 sampai 2005. Belum lagi saya sudah hampir 30 tahun menunggu kepastian di rumah guru yang sudah tidak layak huni ini,” paparnya.

“Bantu saya dan beri keadilan. Ganti Rugi lahan itu Saya ingin menikmati masa tua saya dengan tenang ditempat yang lebih layak,” kuncinya.

(*)

ADVERTISEMENT