OLEH: IYAS MANGALA AYUBI
DARI beberapa pakar dan para penulis, untuk kajian desentralisasi sudah relatif banyak yang terpublikasikan. Namun dalam hal ini, penulis mencoba untuk mengkaji desentralisasi berdasarkan pandangan hukum dan sejarah dalam konteks pembentukan otonomi pada suatu daerah. Sehingga kajian ini setidaknya dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai hukum dan sejarah kaitannya dengan pemberian desentarlisasi yang berbasis pada eksistensi etnik. Masyarakat seharusnya mengerti tentang sejarah wilayahnya. Untuk itu masyarakat harus dapat memperoleh informasi sejarah secara benar demi untuk mempertahankan eksistensi etniknya yang demikian ini juga merupakan bentuk hak konstitusi bagi masyarakat itu sendiri.
Kajian sejarah mutlak untuk dilakukan dalam upaya menata kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Kehidupan pada hari ini ditentukan oleh kehidupan masa lampau dan kehidupan masa sekarang akan menentukan kehidupan pada masa yang akan datang. Sekaitan dengan hal tersebut, fakta sejarah tidak boleh untuk dimodifikasi atau dihilangkan sama sekali karena hal itu akan berdampak pada proses evaluasi kebijakan masa depan. Dalam perjalanan Bangsa Indonesia beberapa fakta sejarah terkadang ditutupi dengan maksud tujuan tertentu seperti untuk mencegah terjadi konflik dan menjaga wibawa pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Namun apakah ini menjadi hal yang tepat untuk dilakukan, mengingat beberapa bangsa di dunia ini menggunakan sejarah sebagai bahan kajian rekonstruksi sosial dimana salah satunya melalui kebijakan dan pendekatan hukum.
Dalam beberapa peristiwa sejarah, penulis masih mengamati banyaknya sejarah yang kurang mendapatkan perhatian khusus dan bahkan lebih tragis lagi ada saja yang merubah dan penghilangan sejarah dari suatu peristiwa tertentu untuk mendapatkan keuntungan didalamnya. Sebagai bangsa yang menghargai pahlawannya, kita sudah mengenal sosok seorang tokoh Pangeran Diponegoro. Dibeberapa literatur masih saja ada perdebatan mengenai sosok yang satu ini. Prof Carey membahas perjalanan hidup Pangeran Diponegoro disamping itu ia juga menjelaskan bagaimana geo politik yang terjadi di Pulau Jawa pada saat itu.
Pada kalangan masyarakat Jawa sendiri masih terjadi pro dan kontra terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro dan masih ada yang menganggap Pangeran Diponegoro merupakan penghianat bagi keraton Yogjakarta. Dari berbagai literatur sejarah terlihat pula bagaimana perubahan politik di Pulau Jawa pada saat itu yang berawal dari pembantaian etnik Tionghoa di Batavia hingga pembagian kekuasaan kerajaan mataram menjadi berberapa kerajaan.
Disamping itu, perkembangan pulau Jawa tidak terlepas dari beberapa tokoh Sulawesi Selatan yang berjuang pada masa itu. Belum lagi beberapa peristiwa yang diwarnai dengan intrik politik dan penghianatan yang berhujung pada pertumpahan darah. Semua itu merupakan sejarah namun penulis belum melihat adanya pengkajian sejarah secara detail sehingga dapat dijadikan reverensi dalam pengambilan kebijakan dan perkembangan hukum pada saat ini.
Hal ini disadari bahwa masyarakat Indonesia agak sunkan membuka sejarah disebabkan ketidaksiapan masyarakat untuk mengetahui fakta sejarah terutama terhadap tokoh yang ia banggakan karena sikap yang disebut fanatisme leadership. Akibat dari sikap yang seperti ini secara otomatis akan berkorelasi dengan kehidupan budaya dan hukum itu sendiri.
Apabila mengadopsi pendapat Von Savigny yang menjelaskan bagamaina hukum merupakan budaya dalam masyarakat. Hukum digambarkan sebagai suatu yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan ditengah masyarakat, maka hukum tidak bisa dipisahkan dari bagaimana perkembangan masyarat itu sendiri. Dalam pemikiran seorang Friedrich Hegel menjelaskan bagaimana Revolusi sosial sangatlah dipengaruhi tingkat sumber daya manusia dalam hal ini kecerdasan masyarakat juga sangat mempengaruhi tingkat perubahan hukum. Apa yang hendak penulis jelaskan adalah bagaimana tingkat kedalaman kritis masyarakat akan membawa perubahan yang besar pula pada daerah bahkan negara.
Dalam berbagai literatur sejarah menjelaskan bagaimana revolusi Perancis dan revolusi industri mempengaruhi perkembangan dunia dalam percepatan dalam semua sektor. Lalu dalam melakukan perubahan-perubahan tersebut maka yang diperlukan ialah penguatan terhadap nilai-nilai adat yang ada, hal ini diperlukan agar terjadinya globalisasi namun eksistensi dari etnis tetap dapat dipertahankan.
Meminjam perkataan dari seorang Tan Malaka Belajarlah dari barat tapi jangan jadi peniru barat, melainkan jadilah murid dari timur yang cerdas. Artinya nilai-nilai sebagai orang timur haruslah tetap dipertahankan. Dengan mengingat Tan Malaka, penulis berusaha menelusuri bagaimana pemikiran Tan Malaka digunakan oleh negara hingga hari ini namun sentimen terhadap perbuatan beliau yang yang mengobrak abrik kaum aristokrat di Jawa hingga berakhirnya kekuasaan daerah istimewa bagi Kesunanan Solo. Sangatlah tidak bijak memandang seorang Tan Malaka yang hanya berhaluan komunis tanpa melihat kembali bagaimana dia seorang yang taat beragama dan Nasionalis yang mempunyai ide dan konsep tentang Republik yang hingga hari ini negara masih menggunakan konsepnya. Kematian
Tan Malaka pada eksekusi mati menimbulkan perasaan keingintahuan apakah benar seorang Tan Malaka mempunyai kesalahan yang sangat fatal yang dapat mengganggu eksistensi negara atau kematiannya sangat dikehendaki oleh segelintir elit? Penulis melihat ada kekuatan politik yang berkaitan dengan pemberian keistimewaan daerah pada saat itu, dimana Kesunanan Solo menjadi korban revolusi yang dilakukan Tan Malaka. Disisi lain, dengan pemberian keistimewaan terhadap daerah akan berdampak juga terhadap keistimewaan kepada para elitnya.
Selama ini kita melihat Kesultanan Yogyakarta menjadi suatu daerah yang dinamakan Asymetric Desentralization yaitu pemberian kewenangan khusus yang hanya diberikan pada daerah-daerah tertentu. Sementara ada juga daerah-daerah lain yang bersifat Simetris Desentralization yaitu pelimpahan kewenangan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kepada seluruh daerah-daerah dalam negara secara uniformistik. Dasar Asymetric Desetralization yang diberikan sangat beragam mulai dari eksistensi keraton yang bertahan hingga kemerdekaan atau pemberian sumbangan sejumlah uang kepada negara pada saat itu.
Dalam hal ini Sri Sultan menyumbangkan uang kepada negara sebesar 6,5 juta gulden. Berbicara mengenai sumbangan ke negara maka juga perlu diingat bagaimana Kesultanan Siak memberikan sumbangsih kepada negara 13 juta gulden namun hingga hari ini otonominya masih bersifat simetris. Lalu bagaimana halnya dengan kisah heroik masyarakat Aceh yang rela memberikan emasnya jumlah yang ditaksir sekitar 20-25 juta gulden kepada negara yang pada akhirnya mengalami kekecewaan dengan mengahapus Daerah Otonomi Aceh dengan menggabungkannya kedalam Provinsi Sumatera Utara yang secara politik, historis, dan budaya sangatlah berbeda.
Apa yang menjadi permasalahan hari ini merupakan kesalahan treatment kebijakan oleh penguasa terdahulu. Demikian pula dengan Daerah Luwu tidak terlepas dari perlakuan penguasa terdahulu. Andi Djemma pernah meminta kepada Soekarno agar Luwu menjadi daerah Provinsi yang otonom. Namun sampai dengan saat ini hari ini belum menunjukan tanda-tanda yang menyejukan dan lebih ironis lagi ada beberapa masyakarat Luwu sendiri yang acapkali menggagalkan usaha dari pembentukan Otonomi ini. Penulis tidak menyalahkan Soekarno atas tidak terbentuknya daerah Otonomi Luwu meski bagaimanapun janji politik dimata hukum bukan sebagai sesuatu yang dapat dipermasalahkan.
Mestinya penguasa pada saat itu melihat bagaimana ketulusan hati seorang Andi Djemma secara sadar menyerahkan kekuasaannya yang masih eksis kepada Pemerintahan Republik. Perlu untuk diingat bahwa Datu Andi Djemma sempat mengalami pengasingan hingga ke daerah Maluku sebelum akhirnya kembali. Penulis sangat yakin penguasa di daerah Jawa yang mendapatkan keistimewaan atau sempat mendapatkan keistimewaan mungkin tidak pernah mengalami hal semacam itu pada masa kolonial Belanda. Penulis tidak ingin menyalahkan bagaimana sikap politik penguasa di jawa pada masa itu, karena untuk mempertahankan eksistensi merupakan hal yang wajar dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan bagaimana kebijakan pemerintah pasca kemerdekaan dalam menyikapi hal ini. Apabila dilakukan komparasi sejarah, maka terkesan adanya ketidakadilan perlakuan negara pasca kemerdekaan terhadap daerah atau etnik tertentu yang telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perjuangan bangsa ini.
Untuk mewujudkan keinginan Datu Andi Djemma dalam pembentukan Provinsi Luwu Raya, sebaiknya kita mengacu kepada pasal 18B UUD 1945 dimana dijelaskan bahwa bagaimana negara menghormati daerah dan kesatuan-kesatuan yang ada. Dalam kasus ini berarti ada hak orang Luwu untuk menjadi Daerah Otonom. Untuk menuju kearah itu, maka perlu kesadaran bersama, mendamaikan pihak-pihak terkait, menyatukan visi, dan yang paling penting menurut penulis perlu adanya suatu modal dimana Luwu dapat dinilai sebagai bagian yang berbeda oleh pemerintah pusat. Belajar dari Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Gorontalo dimana identitas sebagai kesatuan etnis Mandar dan Gorontalo merupakan salah satu modal bagi sebuah pemekaran.
Sebagai penutup penulis ingin melempar sebuah pertanyaan namun perlu dicermati secara kritis, dimana letak patung Andi Djemma dan simbol-simbol Luwu yang nampak pada icon makassar pantai Losari? Pertanyaan ini sangat sederhana namun diperlukan perenungan untuk menjawabnya sehingga orang Luwu dapat berotonomi dengan sesungguhnya yaitu otonomi dalam daerah, otonom dalam identitas, otonom dalam berpikir dan bertindak serta otonom dalam memajukan Provinsinya.
TENTANG PENULIS:
NAMA: Iyas Manggala Ayubi
– Mahasiswa Program Magister Hukum UNPAD Bandung
– Mahasiswa S1 Program Administrasi Negara STISIP Veteran Palopo.