Di Masa Pandemi, PSK Kembali Marak di Kota Palopo, Tekanan Ekonomi?

1531
ADVERTISEMENT

PALOPO–Aktivitas para lonte, sebutan familiar di tengah masyarakat dari istilah Penjaja Seks Komersil (PSK) di kota Palopo nampaknya mulai marak lagi. Terlebih di masa pandemi, dimana perekonomian masyarakat mengalami daya beli yang ikut menurun.

Di kota idaman ini, salah satu lokasi yang menjadi kawasan favorit untuk mangkal meraup rupiah para “pebisnis lendir” itu adalah di Jalan Durian, seputar Terminal Dangerakko, kecamatan Wara. Selain itu, mereka juga kerap beroperasi secara daring melalui aplikasi chat lewat smartphone dengan kode “Open BO”.

ADVERTISEMENT

Menurut laporan warga, jam kerja para lonte itu hanya pada malam hari saja, mulai pukul 00.00 hingga pukul 04.00 dinihari.

Untuk menandai kawanan lonte ini cukup mudah. Biasanya mereka dengan dandanan menor (menyolok), pakai rok mini dan gaun di bagian dada sedikit terbuka berdiri di tepi jalan di kawasan yang agak remang-remang cahaya.

ADVERTISEMENT

Mereka kadang duduk atau berdiri sendirian di tepi jalan sambil berpura-pura menelpon. Kadang pula bergerombol 2-3 orang untuk menjajakan tubuhnya yang mulus bak artis itu.

Menurut cerita warga, biasanya yang membeli layanan seks sistem eceran (ketengan) ini adalah pria hidung belang. Ada yang naik kendaraan roda dua, tetapi kebanyakan om-om senang yang bermobil.

Untuk short time, mereka biasanya membayar Rp200 hingga 300 ribu untuk sekali “tumpah”. Ini harga paling murah di masa pandemi. Tentu saja, harga ini diluar harga sewa kamar wisma atau hotel. Namun kadang, ada juga kalangan anak muda yang lebih suka main di kos-kosan sendiri, untuk menghemat budget, kata salah satu warga, sebut saja Bambang, yang mengaku biasa menggunakan layanan jasa pemuas nafsu birahi itu.

Lantas, apa reaksi Satpol PP atas keresahan warga ini?

Usai menerima laporan dari masyarakat, Satpol PP kota Palopo berjanji akan melakukan penertiban.

Sekretaris Satpol PP Palopo, Muhajir Basri menyebut pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan kelurahan setempat yakni kelurahan Dangerakko dan Bhabinkamtibmas.

”Kami sudah melakukan pertemuan dengan pihak kelurahan serta Bhabinkamtibmas agar menertibkan mereka,” sebut Muhajir, Kamis (21/1).

Sedangkan Kepala Satpol PP Palopo Ade Chandra kepada awak media mengakui jika pihaknya sudah berkali-kali melakukan penertiban di lokasi itu. Hanya saja, ahli maksiat itu masih juga membandel.

”Kami sudah berkali-kali melakukan penertiban kemudian diserahkan ke Dinas Sosial untuk pembinaan,” tutur Ade Chandra.

Walau begitu, Satpol PP berjanji tetap akan turun untuk melakukan penertiban hingga tak ada lagi aktivitas kaum “kupu-kupu malam” di lokasi itu yang dianggap meresahkan masyarakat, katanya.

Kata Pakar dan Pengamat Soal Maraknya PSK di Masa Pandemi

Berkeliarannya sejumlah wanita pelacur di tengah pandemi corona, dipastikan memperlambat musnahnya penyebaran virus ini. Imbauan beraktivitas dan diam di rumah, tak dituruti penjaja seks. Sebab mereka terbentur soal kebutuhan hidup sehari-hari.

“Pelacuran tetap beroperasi, boleh jadi karena para pelacur tidak punya opsi lain untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Butuh uang, tidak tahu pekerjaan lain sehingga nekat masih menjajakan diri,” kata Kriminologi Forensik Reza Indragiri.

Bisa pula para pelacur tersebut berkaca pada kasus bencana dan pascbencana sebelumnya, frekuensi pencari cinta sesaat justru meningkat.

Sedangkan pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, menilai kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) itu seperti buah simalakama.

“Sebenarnya ini masalah perut. Kalau pemerintah bisa menjamin kebutuhan masyarakat terpenuhi, kemungkinan mereka tidak akan berkeliaran di jalanan menjual diri,” ucap Trubus.

PSK itu pekerjaan yang membahayakan. ”Karena menempatkan perempuan menjadi objek eksploitasi. Bagi perempuan yang dilacurkan berhadapan pada kerusakan organ reproduksi,” katanya.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi, dia berharap permasalahan ekonomi yang menjadi penyebab maraknya prostitusi menjadi perhatian dan dapat diselesaikan.

“Gaya hidup menjadi salah satu bagian dari faktor ekonomi yang memicu para perempuan terjerumus ke prostitusi,” katanya.

(har/iys)

ADVERTISEMENT