OLEH: Ridhawati, MPd, Guru SMPN 6 Kota Palopo
PENDIDIKAN ibaratnya sebuah gerbang atau pintu yang dapat menghantarkan seseorang menuju impian-impian besarnya yang terkadang pencapaiannya melewati kemampuan nalar yang logis sekalipun. Di dalam impian-impian tersebut tentunya ada banyak pihak yang turut berjasa dalam merealisasikan mimpi tersebut, dan salah satu yang sangat berpengaruh adalah guru.
Istilah guru milenial pada abad ke-21 ini selalu dieluh-eluhkan kepada guru yang mengikuti perkembangan era digitalisasi dengan kemampuan IT yang mumpuni. Tetapi di sisi lain, terkadang istilah tersebut juga ditujukan bagi guru-guru yang dapat beradaptasi dengan baik dengan anak didiknya yang memiliki pergaulan lebih dekat tentunya dalam proses pembelajaran, sehingga antara guru dan peserta didik tidak terdapat jarak yang renggang, yang nantinya diharapkan peserta didik tersebut dapat berbagi atau sharing informasi layaknya tutor sebaya.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Guru bermutu bisa melahirkan ribuan orang hebat”, meskipun sejatinya setiap orang adalah guru dan setiap rumah adalah sekolah. Pendidikan formal sekarang ini menuntut peran guru yang multitalent, mengingat kemajuan era digitalisasi yang dapat menjadi ancaman bagi pendidikan karakter yang sekarang didengung-dengungkan. Disinilah peran guru untuk mengelola sebuah kemampuan yang penulis mendeskripsikannya dengan sebuah kata yaitu “Touch”.
Kata “Touch” ini dalam bahasa inggrisnya dapat berarti menyentuh atau sentuhan. Sentuhan disini dapat bermakna ganda, dapat diartikan secara ‘soft’ dan ‘hard’. Sentuhan secara soft (halus), yaitu bagaimana seorang guru dapat mengelola skill atau kemampuan emosionalnya dalam mengelola rasa kasih sayang dalam mendidik dan mengajar siswa.
Guru dengan sepenuh hati mengajarkan ke peserta didiknya bagaimana berperilaku yang sopan santun sesuai dengan nilai-nilai karakter yang ingin dicapai pada tujuan nasional pendidikan kita. Walaupun terkadang di dalam proses penyampaiannya itu, muncul gejolak-gejolak penolakan dari anak itu sendiri karena sejatinya mereka memilah apa yang sesuai dengan egoisme mereka masing-masing.
Disinilah tantangan seorang guru dalam mengelola ‘Touch’ skillnya ketika terjadi benturan untuk tidak larut di dalam pertentangan yang dapat berakibat terjadinya kekerasan yang mungkin bagi guru itu sendiri adalah tindakan preventif /pencegahan atau proses pendisiplinan agar tidak meluas ke perilaku-perilaku yang tidak sesuai norma.
Kematangan emosional seorang guru juga dipengaruhi oleh lama dan banyaknya pengalaman yang telah diperoleh selama mengajar, meskipun hubungan itu tidak selamanya linear, bahkan ada segelintir peristiwa yang berbanding terbalik.
Kemampuan mengolah emosional adalah kekuatan utama bagi seorang guru milenial sekarang ini karena teknologi secanggih apapun itu tidak dapat menggantikan jiwa atau naluri seorang guru dalam membimbing anak-anak didiknya untuk senantiasa peduli, baik itu peduli bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama. (***)